Jumat, 06 Maret 2009

DHC-6 Twin Otter Legenda dan Penjaga NKRI

Jumat, 6 Maret 2009 | 03:27 WIBOleh BAYU SUTANTO

Dimulai oleh DeHavilland Canada (DHC) sejak 1964 dan diterbangkan pertama kali tanggal 20 Mei 1965, sejarah telah memihak DHC-6 Twin Otter! Jenis pesawat ini menjadi ”legenda” dan paling sukses dalam sejarah penerbangan industri dirgantara Kanada.

Pesawat pertama yang diproduksi adalah Seri 100, disusul Seri 200 dengan meningkatnya performa STOL (short take-off and landing), pemanjangan hidung pesawat, serta kompartemen penyimpanan bagasi belakang yang diatur ulang. Pada Seri 300, performa pesawat makin meningkat setelah penambahan dua mesin PT6A-27 dari Pratt & Whitney.

Sesuai fungsinya sebagai pesawat multiguna, peralatan pendaratan Twin Otter dapat diganti pelampung ala ski sehingga pesawat ini populer di Alaska, Norwegia, dan utara Kanada. Di Indonesia, pesawat ini banyak dioperasikan di kawasan tengah dan timur, yang fasilitas bandaranya minim serta infrastruktur transportasi daratnya terbatas.

DHC-6 Twin Otter mampu mengangkut 18-20 penumpang dan 1.500-2.000 kilogram barang. Pesawat ini multiguna dengan kemampuan STOL sehingga bisa mendarat di landasan dengan panjang 600 meter, baik yang aspal, rumput, gravel, maupun pelat besi. Pesawat ini juga memiliki daya menanjak tinggi (high rate of climb) sehingga efektif untuk angkutan barang, penumpang, evakuasi medis, dan militer. Bahkan, selama Perang Vietnam, Angkatan Darat Australia menggunakan Twin Otter sebagai pesawat angkut ringan. Sampai saat ini US Air Force masih menggunakan Twin Otter untuk latihan dan operasi terjun payung.

Hingga kini tercatat 60 operator penerbangan sipil serta operator militer dari 25 negara penggunanya. Saking melegendanya Twin Otter, Sean Rossiter kemudian menulisnya dalam buku Otter & Twin Otter-The Universal Planes (Maret 1999).

Pada 1988, DHC memutuskan menghentikan produksi setelah memproduksinya lebih kurang 600 pesawat. Tahun 2007 produksi dilanjutkan untuk pembuatan Seri 400 meski kepemilikannya berpindah tangan.

Saat ini di semua belahan dunia masih terdaftar lebih kurang 580 pesawat Twin Otter yang beroperasi. Di Indonesia, Twin Otter dikenal sejak awal 1970-an, dioperasikan oleh Merpati Nusantara Airlines, yang merupakan operator Twin Otter terbesar dengan 10 armada. Selain Merpati, operator lain adalah Aviastar (5 armada), Airfast Indonesia (3), serta Trigana Air Service (3).

Sebagian besar ”populasi” armada Twin Otter dari keempat operator tersebut terkonsentrasi di Papua untuk melayani penerbangan komersial, subsidi/perintis, dan carter. Untuk Aviastar, selain di Papua dengan 3 armada, satu armada juga berada di Balikpapan, baik untuk melayani penerbangan komersial maupun carter, serta satu armada berada di Palangkaraya untuk melayani penerbangan dari ibu kota provinsi ke sejumlah ibu kota kabupaten di Kalimantan Tengah.

Walaupun telah dihentikan produksinya untuk Seri 300 sejak 1988, populasi Twin Otter masih banyak karena adanya dukungan jaminan perawatan dan suku cadang, baik untuk bodi, roda pendarat, mesin, maupun avionik dari pabrik dan rekanan pendukungnya. Pada 2006, Viking Air yang berlokasi di Victoria, British Columbia Canada, membeli sertifikat produksi dan peralatan produksi Twin Otter dari Bombardier Aerospace (sebelumnya deHavilland Canada) untuk DHC-6. Dengan demikian, Viking punya hak untuk membuat pesawat baru Twin Otter.

Pada awal bulan April 2007, Viking Air mengumumkan memulai produksi Seri 400 dengan 27 pesanan. Pesawat pertama akan diserahkan pada pertengahan 2009 ini kepada Zimex Aviation dari Swiss.

Walaupun tetap mempunyai bentuk yang sama seperti seri 200/300, tapi Twin Otter Seri 400 lebih bertenaga karena memakai mesin PT6A-34/35 dari Pratt & Whitney Canada serta avionik yang lebih maju dan bahan struktur dari komposit yang lebih ringan. Prototipe Seri 400 telah membuktikan keandalannya dengan terbang ferry dari Victoria British Columbia ke Orlana, Florida, AS, Oktober 2008.

Dari pengalaman operasi Twin Otter oleh Aviastar, baik di Papua maupun Kalimantan, terlihat jenis pesawat ini sangat cocok melayani penerbangan dengan kondisi infrastruktur lapangan terbang yang minim fasilitasnya, baik dalam hal panjang landasan pacu, lapisan aspal maupun rumput. Bahkan, Twin Otter bisa mendarat di landasan terbang terbuat dari pelat besi di atas rawa, sebagaimana landasan di Ewer, Kabupaten Asmat, Papua.

Ketiga armada Twin Otter Aviastar yang berada di Papua—di Nabire, Wamena dan Timika—saat ini melayani penerbangan menuju wilayah pemekaran bagian tengah pegunungan, seperti Yahukimo, Mulia, Enarotali, Oksibil. Juga bagian pantai selatan, seperti Dekai, Ewer, Tanah Merah, Keppi dan Merauke. Adapun yang dibawa bisa penumpang dan barang, mulai dari sembako, ternak hidup, daging, sayur, sampai bahan bangunan.

Begitu pun di Kalimantan Tengah. Twin Otter Aviastar menghubungkan Palangkaraya sebagai ibu kota provinsi dengan semua kabupaten yang infrastruktur transportasi darat maupun sungainya tidak memadai. Layanan penerbangan tersebut sangat membantu pejabat, pegawai, investor, maupun penduduk dibandingkan moda transportasi darat dan sungai.

Kiranya dari sejarah yang melegenda tersebut, peran Twin Otter dalam rangka menghubungkan daerah-daerah terpencil yang infrastrukturnya terbatas masih tetap diperlukan. Peran tersebut sekaligus untuk menjaga keutuhan Nekara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dapat dibayangkan apabila Twin Otter tidak bisa masuk ke lokasi-lokasi terpencil itu, isu separatisme bisa jadi akan muncul. Bahkan, ketepatan kehadiran bupati-bupati dari wilayah pemekaran ke ibu kota provinsi maupun ke Jakarta sangat bergantung pada ketersediaan penerbangan Twin Otter tersebut.

Bayu Sutanto President Director Aviastar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar