Batam (ANTARA News) - Lalu lintas penerbangan sipil di udara Kepulauan Riau masih diatur Singapura karena Pemerintah Singapura dan Indonesia terikat pada Konvensi Chicago 1964.
Konvensi Chicago yang melibatkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) memberi kewenangan kepada Singapura untuk mengatur penerbangan di Kepri melalui "Flight Information Region" (FIR), kata Indah Irwansyah, petugas senior menara Pengatur Lalu Lintas Udara (PPLU) Bandara Hang Nadim, Batam, Sabtu.
Dengan persetujuan tersebut, setiap pendaratan atau pemberangkatan pesawat dari Batam, Karimun, Tanjungpinang, Matak dan Ranai di bawah Pusat Pengendalian Wilayah atau Area Control Centre (ACC) FIR Singapura.
Akibatnya, ketika Jumat (6/3) terjadi gangguan pada "automatic massaging searching consult" (AMSC) di Bandara Changi, Singapura, sekitar 10 kedatangan dan keberangkatan pesawat di Hang Nadim mengalami penundaan.
Irwansyah mengatakan, penundaan terjadi karena menyesuaikan dengan penjadwalan kembali pemberangkatan dan kedatangan setelah banyak pesawat "delayed" di Changi.
Di Bandara Internasional Changi jumlah penerbangan normal per hari mencapai 400-500 kali, sedang di Bandara Internasional Hang Nadim 60-80 kali/hari, kecuali di musim angkutan haji bisa 120-150/hari.
Menurut Irwansyah dari aspek peralatan maupun kemampuan sumberdaya pelaksana di Batam, pengaturan penuh bisa dilakukan sendiri di Hang Nadim bila ada pengaturan mengenai radius kewenangan.
"Selain belum ada pengaturan radius, pengaturan sendiri belum bisa dilakukan bukan karena radar di Hang Nadim tidak memadai, melainkan kedua Pemerintah Indonesia dan Singapura terikat pada Konvensi Chicago," katanya.
Konvensi 45 tahun silam serta masih berlakunya izin penggunaan udara untuk latihan militer Singapura, menyebabkan penerbangan pesawat sipil dari Batam ke Ranai (Natuna) harus melambung ke kanan atau lebih jauh daripada bila lurus.
Di wilayah itu terdapat wilayah yang dinamai "Danger Two," Danger Three" dan "Danger Four", tempat-tempat latihan militer Singapura.
Menurut Irwansyah, sering terjadi ketika penerbangan dari Batam hendak memakai jalur itu, pihak Singapura tidak mengizinkan dengan alasan sedang ada latihan.
Pada kesempatan terpisah, Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah menyebutkan, teritori udara Indonesia yang masih dipakai sebagai blok latihan militer Singapura berada di luar Tanjungpinang.
Hal itu dimungkinkan karena ada perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan masih berlanjut, katanya.
Menurut Gubernur, persetujuan itu sudah lama ketika Batam khususnya dan Kepulauan Riau belum berkembang pesat seperti sekarang.(*)
Konvensi Chicago yang melibatkan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) memberi kewenangan kepada Singapura untuk mengatur penerbangan di Kepri melalui "Flight Information Region" (FIR), kata Indah Irwansyah, petugas senior menara Pengatur Lalu Lintas Udara (PPLU) Bandara Hang Nadim, Batam, Sabtu.
Dengan persetujuan tersebut, setiap pendaratan atau pemberangkatan pesawat dari Batam, Karimun, Tanjungpinang, Matak dan Ranai di bawah Pusat Pengendalian Wilayah atau Area Control Centre (ACC) FIR Singapura.
Akibatnya, ketika Jumat (6/3) terjadi gangguan pada "automatic massaging searching consult" (AMSC) di Bandara Changi, Singapura, sekitar 10 kedatangan dan keberangkatan pesawat di Hang Nadim mengalami penundaan.
Irwansyah mengatakan, penundaan terjadi karena menyesuaikan dengan penjadwalan kembali pemberangkatan dan kedatangan setelah banyak pesawat "delayed" di Changi.
Di Bandara Internasional Changi jumlah penerbangan normal per hari mencapai 400-500 kali, sedang di Bandara Internasional Hang Nadim 60-80 kali/hari, kecuali di musim angkutan haji bisa 120-150/hari.
Menurut Irwansyah dari aspek peralatan maupun kemampuan sumberdaya pelaksana di Batam, pengaturan penuh bisa dilakukan sendiri di Hang Nadim bila ada pengaturan mengenai radius kewenangan.
"Selain belum ada pengaturan radius, pengaturan sendiri belum bisa dilakukan bukan karena radar di Hang Nadim tidak memadai, melainkan kedua Pemerintah Indonesia dan Singapura terikat pada Konvensi Chicago," katanya.
Konvensi 45 tahun silam serta masih berlakunya izin penggunaan udara untuk latihan militer Singapura, menyebabkan penerbangan pesawat sipil dari Batam ke Ranai (Natuna) harus melambung ke kanan atau lebih jauh daripada bila lurus.
Di wilayah itu terdapat wilayah yang dinamai "Danger Two," Danger Three" dan "Danger Four", tempat-tempat latihan militer Singapura.
Menurut Irwansyah, sering terjadi ketika penerbangan dari Batam hendak memakai jalur itu, pihak Singapura tidak mengizinkan dengan alasan sedang ada latihan.
Pada kesempatan terpisah, Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah menyebutkan, teritori udara Indonesia yang masih dipakai sebagai blok latihan militer Singapura berada di luar Tanjungpinang.
Hal itu dimungkinkan karena ada perjanjian kerja sama dengan Pemerintah Indonesia dan masih berlanjut, katanya.
Menurut Gubernur, persetujuan itu sudah lama ketika Batam khususnya dan Kepulauan Riau belum berkembang pesat seperti sekarang.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar