INILAH.COM, Denpasar - Batavia Air selain harus membayar utang perawatan pesawat kepada GMF AeroAsia sebesar US$ 1,191 juta, juga diputus membayar ganti rugi kepada perusahaan grup Garuda Indonesia itu sebesar US$ 500 ribu.
Demikian disampaikan GM Corporate Legal GMF, Eniaswuri Andayani, mengutip putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas gugatan pihaknya kepada PT Metro Batavia dalam kasus perjanjian perawatan engine (mesin) pesawat Batavia Air.
Dalam penjelasan yang diterima ANTARA Denpasar, Senin, disebutkan bahwa dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, Rabu (22/4), majelis hakim memutuskan Batavia Air terbukti melakukan wanprestasi atau ingkar janji terhadap GMF atas perjanjian perbaikan dan perawatan mesin pesawat.
Majelis hakim yang diketuai Sugeng Riyono, menghukum Batavia Air untuk membayar utang kepada GMF AeroAsia sebesar US$ 1,191 juta, ditambah bunga yang dihitung 6% per tahun.
Selain itu, atas tuntutan ganti rugi immaterial yang diajukan GMF sebesar Rp200 juta, majelis hakim yang beranggotakan Panji Widagdo dan Reno Listowo, memutuskan Batavia Air membayar ganti rugi mencapai US$ 500 ribu.
Menurut Eniaswuri, majelis hakim dalam amar putusannya menilai sangat wajar dan adil tuntutan ganti rugi immaterial yang diajukan oleh GMF yang berlokasi di kawasan Bandara Soekarno Hatta Cengkareng tersebut.
Majelis hakim juga menyatakan sita jaminan atas empat pesawat B737-200 Batavia Air oleh GMF dinyatakan sah berdasarkan penetapan tertanggal 4 Maret 2009 jo berita acara tertanggal 12 Maret 2009. Pesawat B737-200 yang disita terbukti milik Batavia dan tidak dalam agunan ke pihak ketiga.
Dalam amar putusannya, majelis hakim mengatakan pesawat tidak termasuk barang yang dilarang disita dan praktik peradilan membutuhkan untuk menghindari putusan illusioner (sia-sia). "Karena itu majelis hakim menetapkan sita jaminan," ucap Eniaswuri.
Dalam penetapan sita jaminan pada 4 Maret 2009, majelis hakim meletakkan sita jaminan terhadap tujuh buah pesawat. Namun penyitaan tujuh pesawat itu sempat terhambat karena saat eksekusi sita jaminan dilakukan, juru sita Pengadilan Negeri Tanggerang hanya menemukan empat pesawat Batavia.
Menurut Eniaswuri, perkara ini bermula dari Batavia Air menyerahkan dua mesin (engine) dengan kode ESN 857854 dan ESN 724662 kepada GMF AeroAsia pada 14 Juni 2007 untuk perawatan. Dari hasil inspeksi terhadap mesin tersebut, GMF mengajukan cakupan rincian pekerjaan perawatan kepada Batavia Air.
Namun, Batavia Air hanya menyetujui penanganan pekerjaan/peggantian sesuai daftar nomor 1-5. Berdasarkan persetujuan itu GMF dan Batavia Air membuat kontrak penggntian 5 bearing di engine Batavia.
Proses penggantian 5 bearing pada dua mesin itu selesai dan keduanya diserahkan kembali pada Batavia Air, September 2007. Dua mesin itu bisa diterbangkan. Beberapa waktu kemudian, mesin pertama (#1) mengalami masalah setelah diterbangkan selama sekitar 300 jam, sedangkan mesin kedua (#2) tidak mengalami masalah.
Dalam kontrak GMF dan Batavia Air ada klausul bahwa garansi diberikan oleh GMF jika kerusakan disebabkan karena kesalahan pekerja yang tidak cakap (workmanship).
Tapi, menurut Eniaswuri, masalah yang muncul pada mesin #1 Batavia Air bukan pada bearing replacement yang dikerjakan oleh GMF. Berdasarkan fakta tersebut kerusakan muncul karena penanganan oleh Batavia Air, sehingga mesin kembali rusak.
Untuk membantu Batavia Air mencari sumber kerusakan, GMF mencoba melakukan investigasi pada mesin #1. "Tapi, Batavia tidak memberi akses dan data yang lengkap kepada pihak kami," kata Erniaswuri.
Setelah tidak memberikan akses dan data investigasi kepada GMF, Batavia Air justru menggugat PT GMF AeroAsia sebesar 5 juta dolar AS melalaui Pengadilan Negeri Tangerang. Mediasi perkara oleh majelis hakim gagal menemukan kata sepakat.
Perkara ini kemudian dipindahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sampai ada putusan pada 11 Maret 2009, setelah PN yang sama pada 4 Maret 2009 mengabulkan permohonan GMF untuk menyita jaminan tujuh pesawat Batavia Air. [*/cms]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar