Jakarta - Asosiasi Perusahaan Penerbangan Sipil Indonesia (INACA) secara tegas mempertanyakan keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tentang praktik kartel pada penerapan biaya tambahan bahan bakar minyak (fuel surcharge/FS) oleh sembilan maskapai nasional.
"Kami tentu tidak bisa intervensi keputusan itu, tetapi wajar jika layak dipertanyakan karena diduga adanya data-data sebagai pijakan yang tidak akurat," kata Sekjen INACA, Tengku Burhanuddin, di sela Pengukuhan Pengurus DPP Organda Periode 2010-2015 oleh Menteri Perhubungan, Freddy Numberi, di Jakarta, Rabu.
Data yang dimaksud, lanjut Tengku, adalah dari 12 maskapai yang diperiksa KPPU, hanya 10 maskapai yang menyerahkan data lengkap dan ada maskapai yakni PT Garuda Indonesia yang hanya menyerahkan data 2006-2008 dan tidak memberikan data 2009 karena masih dalam proses audit.
Oleh karena itu, pihaknya mendengar bahwa sembilan maskapai yang didenda dan diperintahkan membayar ganti rugi miliaran rupiah tersebut, akan melakukan banding.
"Secara organisasi, kami harus rapat dulu, untuk menyikapinya secara resmi," katanya.
Sebelumnya, KPPU menghukum sembilan maskapai penerbangan, termasuk Garuda untuk membayar denda dan ganti rugi senilai total Rp700 miliar, setelah terbukti melakukan kartel penetapan harga fuel surcharge sejak 2006 hingga 2009.
Anggota KPPU, Maria Tri Anggraini, saat membacakan putusan kasus tersebut menyebutkan, PT Garuda Indonesia terkena denda dan ganti rugi paling besar yaitu Rp25 miliar dan Rp162 miliar.
Selain Garuda, maskapai lain yang dihukum denda oleh KPPU cukup besar adalah PT Mentari Lion Airlines Rp17 miliar dan ganti rugi sebesar Rp107 miliar.
Sedangkan Sriwijaya Air, Merpati Nusantara Airlines, Mandala Airlines, PT Travel Express Aviation Service, Wings Air dan Kartika Airlines dikenakan denda bervariasi Rp1-9 miliar. Kemudian, untuk ganti ruginya bervariasi antara Rp1,6 hingga Rp60 miliar.
KPPU juga memperkirakan, akibat praktik kartel sembilan maskapai itu, konsumen setidaknya dirugikan Rp5-Rp13,8 triliun.
KPPU juga memberikan waktu 14 hari untuk berfikir dan atau melakukan upaya hukum lain.
Tengku juga mengkhawatirkan, jika keputusan tersebut nantinya berkekuatan hukum tetap dan maskapai harus membayar denda miliaran rupiah tersebut, maka hal itu berpotensi mengganggu arus kas maskapai.
"Beberapa maskapai yang terguncang, bisa saja menutup operasinya sehingga dampak ikutannya adalah operasional maskapai penerbangan bisa terganggu dan ujung-ujungnya perekonomian juga bisa terganggu," kata Tengku.(Ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar